Sabtu, 19 Januari 2013

PENDIDIKAN PROFESI KEPERAWATAN



BAB I
PENDIDIKAN PROFESI KEPERAWATAN
Tujuan Instruksional
Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa akan dapat:
1. Menjelaskan tahap pendidikan dalam keperawatan
2. Membedakan pendidikan pada tahap akademik dan profesi
3. Menjelaskan tahap perencanaan pembelajaran klinik
4. Menjelaskan tahap pelaksanaan pembelajaran klinik
5. Menjelaskan karakteristik pengajar klinik
6. Menjelaskan tahap evaluasi pembelajaran klinik

A.PENDAHULUAN
Keperawatan sebagai sebuah profesi telah disepakati berdasarkan pada hasil lokakarya nasional pada tahun 1983, dan didefinisikan sebagai suatu bentuk  pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan biopsiko-sosio-spiritual yang komprehensif,  ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Oleh karena itu sifat pendidikan keperawatan juga menekankan pemahaman tentang keprofesian. Untuk menghasilkan seorang perawat profesional, harus melewati dua tahap pendidikan yaitu tahap pendidikan akademik yang lulusannya mendapat gelar S.Kep. dan tahap pendidikan profesi  yang lulusannya mendapat gelar Ners (Ns). Kedua tahap pendidikan keperawatan ini harus diikuti, karena keduanya merupakan tahapan pendidikan yang  terintegrasi sehingga tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Pada tahap akademik mahasiswa mendapatkan teori-teori dan konsep-konsep. Mata kuliah pada tahap ini terbagi menjadi kelompok mata kuliah yang sifatnya umum, mata kuliah penunjang seperti mata kuliah medis yang secara tidak langsung menunjang mata kuliah keperawatan dan mata kuliah keahlian berupa mata kuliah keperawatan. Sedangkan pada tahap profesi mahasiswa mengaplikasikan teoriteori dan konsep-konsep yang telah didapat selama tahap akademik.
B. Tahap Pendidikan Profesi
Seperti sudah dipaparkan di atas bahwa pendidikan perawat terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap pendidikan akademik dan tahap pendidikan profesi. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Reilly (2002) yang membagi pendidikan keperawatan menjadi dua disiplin yaitu disiplin akademik dan disiplin profesional. Program pendidikan profesi adakalanya disebut juga sebagai proses pembelajaran klinik. Istilah  ini muncul terkait dengan pelaksanaan pendidikan profesi yang sepenuhnya dilaksanakan di lahan praktik seperti rumah sakit, puskesmas, klinik bersalin, panti wherda, dan keluarga serta masyarakat atau komunitas. Masih menurut Reilly, disiplin akademik lebih menekankan pada pengetahuan dan pada teori yang bersifat deskriptif, sedangkan disiplin profesional diarahkan pada tujuan praktis, sehingga menghasilkan teori preskriptif dan deskriptif. Disiplin profesi hanya akan didapat di lingkungan klinis atau lahan praktik karena lingkungan klinis merupakan lingkungan multiguna yang dinamik sebagai tempat pencapaian berbagai kompetensi praktik klinis di dalam kurikulum profesional. Lingkungan klinis memfasilitasi peserta didik untuk belajar menerapkan teori tindakan ke dalam masalah klinis yang nyata. Tujuan dari praktik klinis dapat dicapai di lingkungan manapun yang melibatkan peserta didik di dalam praktik keperawatan. Sebagai contoh untuk mahasiswa keperawatan biasanya memakai lahan praktik di rumah sakit tipe A, tipe B maupun tipe C untuk pembelajaran kasus-kasus yang terkait dengan medikal bedah atau perawatan pada orang dewasa, keperawatan gawat darurat dan keperawatan anak. Untuk kasus-kasus maternitas seperti pertolongan persalinan biasanya bekerjasama dengan klinik bersalin atau rumah sakit khusus ibu dan anak, karena selain memiliki pasien dalam jumlah banyak, kasusnya pun lebih spesifik. Sehingga lebih mudah untuk pencapaian kompetensi mahasiswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Tetapi untuk kasus-kasus yang biasa terjadi di keluarga dan masyarakat atau komunitas yang terkait dengan pelayanan primer biasanya menggunakan puskesmas sebagai lahan praktik.
Praktik klinik diharapkan bukan hanya sekedar kesempatan untuk menerapkan teori yang dipelajari di kelas ke dalam praktik profesional. Melalui praktik klinik mahasiswa diharapkan lebih aktif dalam setiap tindakan sehingga akan menjadi orang yang cekatan dalam menggunakan teori tindakan. Lebih jauh lagi, praktik keperawatan profesional di bidang pelayanan keperawatan mencakup banyak hal termasuk diantaranya pengambilan keputusan klinis yang mengintegrasikan teori, hukum, pengetahuan, prinsip dan pemakaian keterampilan khusus. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana perawat 11menerima klien sebagai makhluk hidup yang utuh, unik dan mandiri dengan hak-haknya yang tidak dapat dipisahkan. Selama praktik klinis, mahasiswa dapat bereksperimen dengan menggunakan konsep dan teori untuk praktik, menyelesaikan masalah, dan mengembangkan bentuk perawatan baru (Reilly, 2002). Adanya rasa takut berbuat salah hanya akan membatasi perkembangan dan keinginan mahasiswa untuk bereksperimen dengan perawatan. Kondisi ini akhirnya jelas berdampak pada minimnya pengalaman klinik mahasiswa selama di lahan praktik. Pengajar atau pembimbing klinik adakalanya merasa takut seandainya mahasiswa berbuat kesalahan, sehingga sering menuntut hal  yang tidak realistik pada mahasiswa. Hal ini berdampak kepada kompetensi-kompetensi tertentu yang mungkin tidak tercapai selama proses pembelajaran.
C. Perencanaan Pembelajaran Klinik
Menurut William H Newman dalam bukunya Administrative Action Techniques of Organization and Management  dalam Majid (2005) menyatakan bahwa perencanaan adalah menentukan apa yang akan dilakukan. Sedangkan menurut Nana Sujana dalam sumber yang sama menyatakan bahwa perencanaan adalah proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Dalam konteks pembelajaran, perencanaan juga dapat dikatakan  sebagai proses penyusunan materi, penggunaan media, penggunaan pendekatan dan metode pengajaran. Sebelum membuat rancangan, sebaiknya dilakukan pengkajian terlebih dahulu. Melalui pengkajian akan didapatkan status kemampuan awal peserta didik sehingga akan membantu menetapkan tujuan pembelajaran. Tidak semua mahasiswa harus mendapatkan proses pembelajaran yang sama walaupun tujuan akhir dari pembelajarannya sama. Sedangkan untuk makna pembelajaran, banyak ahli pendidikan yang menyatakan bahwa pengajaran merupakan terjemahan dari  instruction atau teaching. Sedikit berbeda dengan Correy dalam bukunya  Association for Education Communication and Technology  dalam Rohani (1995) mengatakan bahwa  instruction merupakan bagian dari pendidikan yang merupakan suatu proses dimana lingkungan seseorang dengan sengaja dikelola agar memungkinkan orang tersebut dapat belajar melakukan hal tertentu atau memberikan respon terhadap situasi tertentu pula. Berasumsi pada pendapat Correy, maka untuk dapat melaksanakan pembelajaran, seorang dosen atau pengajar di lahan praktik yang sering disebut instruktur klinik berperan  sebagai perancang dan pengembang model 12pembelajaran sekaligus sebagai pengelola atau pelaksana. Oleh karena itu untuk melaksanakan tugas ini, instruktur klinik perlu memiliki pengetahuan, sikap, keterampilan khusus dan hal-hal atau materi yang akan disampaikan. Selain itu instruktur klinik pun  sebaiknya memahami tentang konsep perencanaan pembelajaran. Menurut Hunt dalam Majid (2005) ada  beberapa model persiapan mengajar diantaranya model ROPES dan satuan  pelajaran. Model ROPES merupakan sebuah urutan tahap dari  Review, Overview, Presentation, Exercise dan Sumarry. Model ini cocok diadopsi untuk pembelajaran klinik karena dimulai dari  review atau pengulangan tentang kegiatan yang akan dilakukan. Tahap kedua  overview yaitu menjelaskan tindakan yang akan dilakukan. Kemudian tahap  presentation dengan kegiatan mendemontrasikan tindakan yang akan dilakukan. Keempat adalah  exercise  atau latihan, pada tahap ini mahasiswa melakukan tindakan keperawatan di bawah supervisi instruktur klinik. Dan terakhir  summary atau membuat rangkuman dari pembelajaran yang telah berlangsung. Kekurangan dari model ini adalah tidak mencantumkan aspek evaluasi. Padahal melalui evaluasi  instruktur klinik dapat mengetahui kemampuan mahasiswanya. Akan tetapi tahap  summary bisa dimodifikasi menjadi tahap evaluasi. Model satuan pelajaran (satpel) adalah model yang sering dipilih oleh kebanyakan pendidik karena polanya yang baku. Tahapannya tiga bagian yaitu kegiatan awal berupa pendahuluan  dan apersepsi yang bertujuan untukmengetahui kemampuan awal mahasiswa. Tahap kedua merupakan kegiatan inti yaitu penyampaian materi dan pemberian bimbingan terhadap mahasiswa. Dan tahap terakhir merupakan kegiatan penutup yang biasanya ditandai dengan cara membuat rangkuman atau melaksanakan evaluasi untuk materi yang telah dipelajari.
D. Pelaksanaan Pembelajaran Klinik
Kegiatan di lahan praktik memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk terampil dalam menerapkan teori pada praktek klinik dengan sikap dan keterampilan profesional yang ditumbuhkan dan dibina melalui pengalaman dalam pengambilan keputusan klinik, yang merupakan penerapan secara terintegrasi kemampuan penalaran saintifik dan penalaran etik (Husin, 1992).Menurut Schweek and Gebbie (1996) praktek klinik merupakan “the heart of the total curriculum plan”. Hal ini berarti unsur yang paling utama dalam pendidikan keperawatan adalah bagaimana proses pembelajaran dikelola di lahan praktek. Untuk itu perlu disiapkan panduan pembelajaran klinik bagi mahasiswa dan juga bagi pembimbing atau instruktur klinik agar dapat melakukan asuhan keperawatan yang menitikberatkan pada kualitas melalui 13terciptanya suatu lingkungan belajar  yang sarat dengan model peran (role model). Melalui tahap pendidikan profesi diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki sikap, pengetahuan dan keterampilan profesional.
Oleh karena itu pada tahap profesi, pendidikan disusun berdasarkan pada:
(1) Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan. Pada tahap ini peserta didik dan perseptor harus memahami dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan yang diperlukan dalam melaksanakan asuhan keperawatan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan,
(2) Menyelesaikan masalah secara ilmiah, maksudnya peserta didik dituntut untuk mampu memecahkan masalah secara  langsung saat berhubungan dengan pasien/klien dalam membantu memenuhi kebutuhannya melalui tahapan proses keperawatan,
(3) Sikap dan tingkah laku profesional yang dituntut dari seorang perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan dan kehidupan profesi meliputi penumbuhan dan pembinaan kemampuan berfikir, bersikap dan bertindak profesional melalui suatu lingkungan yang sarat dengan model peran (role model),
(4) Belajar aktif dan mandiri yang dapat dicapai selama pembelajaran klinik antara lain dengan membuat laporan pendahuluan, presentasi kasus dan seminar hasil  dan kegiatan lainnya yang menuntut mahasiswa untuk lebih mandiri,
(5) Pendidikan berada di masyarakat atau pengalaman belajar yang dikembangkan di masyarakat  (community based learning) yang dapat menumbuhkan dan membina sikap dan keterampilan para mahasiswa dimasyarakat. Untuk mencapai kompetensi di atas, maka kurikulum tahap Program Profesi (Ners) disusun berdasarkan Kurikulum Nasional dengan Surat Keputusan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Nomor: 129/U/1999 tanggal 11 Juni tahun 1999 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Ners di Indonesia (KIPNI). Besar beban studi kurikulum inti pada tahap program profesi (Ners) adalah minimal 20 sks (80% dari kurikulum lengkap program profesi Ners). Dengan komposisi 5 sks (25%) kelompok Keperawatan  Medikal Bedah (KMB), 2 sks (10%) Keperawatan Maternitas, 2 sks (10%)  Keperawatan Anak, dan 2 sks (10%) Keperawatan Jiwa yang ditempatkan di semester pertama. Sedangkan pada semester kedua meliputi 2 sks (10%)  Manajemen Keperawatan, 2 sks (10%) Keperawatan Gerontik, 2 sks (10%) Keperawatan Gawat Darurat, 2 sks (10%) Keperawatan Keluarga dan 3 sks (15%) Keperawatan Komunitas. Setiap institusi pendidikan tinggi keperawatan hampir memiliki kurikulum yang berbeda. Kurikulum dikembangkan sejalan dengan misi dan visi institusi. Di dalamnya tergambar kompetensi-kompetensi yang harus dicapai peserta didik. Melalui pendidikan profesi, diharapkan dapat mengembangkan keterampilan tehnik, pemecahan masalah serta meningkatkan kemampuan intelektual dan hubungan interpersonal untuk menghasilkan perawat profesional yang mampu memberikan pelayanan keperawatan  berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan. Lulusannya juga diharapkan mampu menggunakan metodologi keperawatan berlandaskan pada etika keperawatan. Agar kompetensi ini dapat dicapai, mahasiswa wajib mendapatkan proses pembelajaran secara berkelanjutan antara teori dan pengalaman belajar di lahan praktek dalam suatu lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan pembinaan kemampuan profesional. Pembelajaran yang berkelanjutan dimulai dari tahap akademik yang berfokus kepada penguasaan konsep-konsep dan teori-teori, dilanjutkan pada tahap profesi untuk untuk menerapkan konsep-konsep dan teori-teori yang telah di dapat dalam bentuk  pelayanan langsung kepada pasien atau klien. Sehingga lulusannya diharapkan dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai perawat profesional, baik sebagai pemberi asuhan  (caregiver), pembela klien (client advocator), penilai kualitas asuhan  (quality of evaluator), manajer (manager), peneliti  (researcher), pendidik  (educator) maupun konsultan (consultant)  serta community leader. Untuk dapat menghasilkan lulusan dengan kemampuan tersebut diperlukan proses pembelajaran di lahan praktek. Pembelajaran di lahan praktik atau praktik klinik diharapkan tidak hanya menjadi kesempatan untuk menerapkan teori yang dipelajari di kelas ke dalam praktik profesional. Akan tetapi melalui praktik klinik mahasiswa diharapkan lebih aktif dalam setiap tindakan sehingga akan menjadi orang yang cekatan dalam menggunakan teori tindakan. Lebih  jauh lagi, praktik profesional di bidang pelayanan keperawatan mencakup banyak hal diantaranya keputusan klinis yang berasal dari teori, hukum, pengetahuan, prinsip dan pemakaian keterampilan khusus. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana perawat menerima klien sebagai makhluk hidup yang unik dan mandiri dengan hak-hak yang tidak dapat dipisahkan.  Pelaksanaan pembelajaran klinik terkait erat dengan peran pengajar pada lingkungan klinis yang bertujuan untuk mendorong kemandirian dan kepercayaan diri mahasiswa. Bukan mendukung berkembangnya ketergantungan dan kepercayaan terhadap pengajar. Setelah melalui proses pembelajaran diharapkan mahasiswa benar-benar mandiri  sebab mereka akan kembali ke masyarakat sebagai pengguna (user) jasa. Oleh karena itu kemampuan mahasiswa selama pembelajaran di klinik sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan pengalaman instruktur klinik. Di beberapa negara bagian di Australia dan di Amerika instruktur klinik dikenal dengan istilah perseptor. Sehingga metode pembelajaran klinik yang dikembangkan dikenal dengan istilah metode perseptorship.  Beberapa metode yang disarankan untuk  perseptorship atau pembelajaran klinik adalah tanya jawab, diskusi, demontrasi untuk tindakan atau prosedur yang baru dan feed back atau balikan untuk tindakan yang telah dilakukan. Hal ini penting sebagai evaluasi untuk mengoreksi setiap tindakan yang telah dilakukan mahasiswa.

Ada banyak metode pengajaran klinis, Reilly (2002) membaginya menjadi tujuh, yaitu:
(1)  experiential: meliputi penugasan klinis, tugas tertulis, simulasi dan permainan,
(2) pemecahan masalah: meliputi situasi pemecahan masalah, dan situasi pembuatan keputusan,
(3) konferensi: biasanya terdiri dari konferensi prapertemuan, pascapertemuan, dan jenis pertemuan klinis lainnya serta pertemuan keperawatan multi disiplin,
(4) observasi: meliputi observasi di lingkungan klinis, kunjungan lapangan atau  home visit, ronde keperawatan, dan peragaan,
(5)  multimedia: biasanya terkait dengan keragaman media yang digunakan dalam penyampaian materi misalnya bentuk visual seperti slide dan film strip, bentuk auditori seperti videotip dan dengan menggunakan model atau objek lain untuk dimanipulasi, model cetakan seperti: hand out, pamplet, buku ajar, buku kerja/buku panduan serta instruksi terprogram, jenis media bukan cetakan seperti kaset/audiotif, komputer, film, film loop, film streep, model, overhead trasparansi, fotografi, objek nyata, slide, televisi, videotip,
(6)  self directed yaitu: seperti kontrak pembelajaran, pembelajaran sendiri, dan
(7) preceptorship dan model lain dari praktek klinik terkonsentrasi. Preceptorship didasarkan pada konsep modeling peserta didik dengan cara memodifikasi prilaku dan  mengobservasi sendiri prilaku yang dibutuhkan.
E. Karakteristik Pengajar Klinik
Menurut Watt (1990) pengajar klinik yang lebih dikenal sebagai instruktur klinik atau  clinical instructur (CI) atau digunakan juga istilah perseptor biasanya berasal dari lahan praktik, tetapi bisa juga berasal dari institusi apabila pembimbing dari lahan praktik tidak dapat memenuhi kriteria yang disyaratkan. Sebagai perseptor, perawat bertanggung jawab terhadap semua tindakan mahasiswa selama pembelajaran di lahan praktik. Perawat juga harus membuat pembatasan kewenangan yang  jelas dan spesifik tentang asuhan keperawatan yang menjadi tanggung jawab mahasiswa dan tanggung jawabnya. Kekaburan tugas ini bisa berdampak besar pada kondisi-kondisi tertentu yang tidak diharapkan. Misalnya terjadi kesalahan dalam pemberian atau pelaksanaan suatu tindakan yang dapat berakibat fatal bagi pasien dan dapat menyebabkan kematian.  Agar pengajaran di klinik tetap efektif, seorang pengajar klinis sebaiknya memiliki karakteristik di bawah ini.
Pertama, pengajar klinik harus tetap mengikuti perkembangan pengetahuan dan keterampilan klinis terbaru. 16Menganalisa teori-teori, mengumpulkan dari berbagai sumber, dan menekankan pemahaman konseptual diantara peserta didik. Membantu peserta didik dalam menghubungkan teori yang melandasi praktik keperawatan. Mampu menyampaikan atau mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Memperlihatkan kompetensi klinis, keahlian, dalam keterampilan dan pertimbangan klinis, dan sikap serta nilai-nilai yang dikembangkan oleh peserta didik.
Kedua, pengajar klinik sebaiknya  menguasai keterampilan dasar mengajar sebagaimana layaknya seorang pengajar atau dosen. Katerampilan ini terkait dengan kemampuan pengajar untuk bertanya, menjelaskan, memberi penguatan, mengadakan variasi, mengelola kelas dan membimbing diskusi. Semua keterampilan di atas akan tercermin dalam sikap pengajar saat mendiagnosis kebutuhan pembelajaran, merencanakan instruksi, melakukan supervisi pada peserta didik di dalam lingkungan klinis, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Kondisi lainnya tergambar dalam cara pengajar menyampaikan informasi dalam susunan yang teratur, memberi penekanan pada hal-hal yang penting, memberikan penjelasan dan pengarahan dengan jelas dan singkat sehingga mudah dipahami,  mengajukan pertanyaan yang dapat memfasilitasi pembelajaran dan dapat meningkatkan kemadirian peserta didik serta memberikan umpan balik langsung yang positif terhadap kemajuan peserta didik.
Ketiga, pengajar klinik sebaiknya mempertahankan hubungan harmonis dengan cara membentuk hubungan interpersonal dengan peserta didik, yang ditandai dengan adanya kehangatan, rasa saling menghormati, prilaku penuh perhatian, memberi perhatian, dan bersikap  lebih terbuka. Hubungan yang kurang harmonis antara keduanya dapat menyebabkan situasi dan kondisi pengajaran yang tidak kondusif. Akhirnya tentu berdampak pada transfer ilmu yang tidak optimal sehingga pencapaian kompetensi pun dapat terhambat. Hubungan ini juga dapat dijalin dengan cara memberikan dukungan, dorongan, dan mendengarkan dengan seksama serta  menghargai hak peserta didik untuk menolak, bertanya, dan mengekspresikan pendapat sendiri dan dapat menerima perbedaan diantara peserta didik.Terakhir, terkait dengan karakteristik  personal yang harus dimiliki pengajar klinis yaitu dinamis dan antusias, memiliki rasa humor, ramah, kooperatif, sabar dan mau serta mampu mengakui  kesalahan dan keterbatasan yang dimilikinya. Pengajar klinik adalah seseorang yang menyukai praktek keperawatan klinis dan mengajar di  dalam lingkungan klinis sesuai dengan keahliannya. Kemampuan pengajar klinik dalam melaksanakan pengajaran sesuai dengan keahliannya, akan melahirkan rasa percaya diri pada saat mengajar dan melaksanakan evaluasi pengajaran. Seorang pengajar klinik juga17perlu memperhatikan fleksibilitas, bertangung jawab terhadap keperawatan dan pengajaran di lingkungan klinis. Pembelajaran klinik bagi mahasiswa keperawatan di rumah sakit dilakukan secara kolaborasi antara perseptor atau  instruktur klinik yang berasal dari institusi pendidikan dan perseptor yang berasal dari lahan praktik yang diperbantukan untuk mengajar mahasiswa selama pembelajaran klinik.
Beberapa tanggung jawab perseptor klinis antara lain sebagai berikut:
(1) mengorientasikan mahasiswa yang praktik terkait dengan prosedur-prosedur dan kebijakan di lahan praktik.
(2) berperan menjadi seorang praktisi klinis, guru sekaligus pementor.
(3) melaksanakan supervisi terhadap mahasiswa selama berada di lahan praktik.
(4) memperbaiki kemampuan mahasiswa untuk mendukung perencanaan dan tindakan keperawatan.
(5) memberi masukan dan membantu serta mendorong kemampuan  mahasiswa untuk tujuan klinis.
(6) berkordinasi dengan institusi pendidikan untuk membahas masalah-masalah yang muncul selama pengajaran klinik.
(7) memberikan pendelegasian untuk menjaga hal-hal tidak diharapkan saat perseptor tidak dapat mendampingi mahasiswa selama pengajaran klinik.
(8) mendokumentasikan perkembangan mahasiswa selama pengajaran sebagai bahan untuk evaluasi.
(9) memberikan laporan tertulis pada institusi sebagai bahan evaluasi pada akhir pembelajaran
klinis.
Tugas perseptor atau instruktur klinik  di setiap institusi pelayanan kesehatan baik itu rumah sakit, klinik, maupun puskesmas jelas berbeda. Hal ini disesuaikan dengan kompetensi yang harus dicapai mahasiswa pada setiap bagian. Kondisi lain yang berkontribusi terhadap peran instruktur klinik ini adalah kebijakan dari rumah sakit atau pelayanan kesehatan yang bersangkutan dan perbandingan atau rasio antara  instruktur klinik dengan jumlah mahasiswa/peserta didik yang harus mendapat bimbingan turut mempengaruhi kualitas bimbingan yang diberikan.

F. Evaluasi Pembelajaran Klinik
Evaluasi adalah suatu proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang suatu sistem pembelajaran (Hamalik, 2003). Masih menurut Hamalik evaluasi belajar mengajar merupakan bagian integral dalam proses pendidikan. Karena itu harus dilakukan oleh setiap pendidik sebagai bagian dari tugasnya dalam merancang sistem pembelajaran. Setiap merancang sistem pembelajaran, sebaiknya telah ditetapkan terlebih dahulu tujuan-tujuan yang ingin dicapai yang akan dituangkan dalam rumusan rencana evaluasi. Evaluasi 18atau penilaian tidak hanya dilakukan terhadap hasil belajar tetapi juga dilakukan terhadap proses pengajaran itu sendiri. Banyak keuntungan yang didapat apabila evaluasi telah direncanakan sebelumnya dan dikelola dengan baik. Keuntungan-keuntungan itu antara lain: memberikan kemudahan dalam mengkaji ulang model atau rancangan pembelajaran yang telah disusun. Membantu dalam mengumpulkan informasi tentang pemahaman peserta didik terhadap suatu materi dan memberikan waktu yang cukup untuk merancang tes sehingga tes yang dilakukan tidak terkesan asal-asalan.  Pengelolaan evaluasi pembelajaran klinik adalah pelaksanaan evaluasi terhadap pembelajaran di klinik. Pembelajaran di klinik tidak sama dengan pembelajaran di kelas atau pun di laboratorium. Mahasiswa yang melaksanakan praktik biasanya terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil dengan jumlah 8-12 mahasiswa untuk setiap bagian. Masing-masing bagian melaksanakan praktik klinik selama tiga sampai dengan empat minggu, tergantung kompetensi yang harus dicapai mahasiswa dan bobot SKS yang harus ditempuh pada setiap bagian. Pelaksanaan evaluasi pembelajaran klinik ada kecenderungan dilaksanakan pada minggu terakhir di setiap siklusnya. Pengelolaan evaluasi pada setiap bagian bisa saja berbeda, akan tetapi prinsip, syarat, alat dan model evaluasi sebaiknya dipahami instruktur klinik. Sehingga evaluasi yang dilaksanakan benar-benar mampu menilai pembelajaran yang telah dilaksanakan. Hasil evaluasi bukan merupakan suatu hal yang bersifat subjektif atau keberuntungan. Baik buruknya hasil evaluasi akan menjadi indikator suatu institusi, bahkan turut menentukan apakah suatu program masih layak dipertahankan seandainya berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan adalah kurang memuaskan. Oleh karena itu baik tidaknya pengeloaan evaluasi ikut menentukan penguasaan mahasiswa terhadap kompetensi yang harus dicapainya dan berdampak pada mutu suatu institusi.



Ringkasan
1. Pendidikan keperawatan terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap pendidikan akademik dan pendidikan profesi.
2. Tahap akademik menekankan pada  pengetahuan dan teori yang bersifat deskriptif, sedangkan tahap profesional diarahkan pada tujuan praktis, sehingga menghasilkan teori preskriptif dan deskriptif.
3. Tahap profesi hanya akan di dapat dilingkungan klinis  karena lingkungan klinis merupakan lingkungan multiguna yang dinamik sebagai tempat pencapaian berbagai kompetensi praktik klinis seperti tercantum dalam kurikulum profesional.  19
4. Praktek klinik merupakan “the heart of the total curriculum plan” artinya pembelajaran klinik merupakan unsur yang paling utama dalam pendidikan keperawatan.
5. Agar pembelajaran di klinik tetap efektif, seorang pengajar klinis sebaiknya memiliki karakteristik tertentu dan harus adanya pembatasan kewenangan yang jelas dan spesifik tentang asuhan keperawatan yang menjadi tanggung jawab mahasiswa dan tanggung jawabnya.
6. Sebelum melaksanakan pembelajaran klinik sebaiknya dibuat perencanaan terlebih dahulu, kemudian dilaksanakan juga evaluasi terhadap proses yang sudah dijalankan.
DAFTAR PUSTAKA
·         http//www/wikipedia/profesikeperawatan/com
·         http//www/google/tujuankeperawatan/com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar