BAB I
PENDIDIKAN
PROFESI KEPERAWATAN
Tujuan
Instruksional
Setelah
mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa akan dapat:
1.
Menjelaskan tahap pendidikan dalam keperawatan
2.
Membedakan pendidikan pada tahap akademik dan profesi
3.
Menjelaskan tahap perencanaan pembelajaran klinik
4.
Menjelaskan tahap pelaksanaan pembelajaran klinik
5.
Menjelaskan karakteristik pengajar klinik
6.
Menjelaskan tahap evaluasi pembelajaran klinik
A.PENDAHULUAN
Keperawatan sebagai
sebuah profesi telah disepakati berdasarkan pada hasil lokakarya nasional pada
tahun 1983, dan didefinisikan sebagai suatu bentuk pelayanan
profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan didasarkan
pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan biopsiko-sosio-spiritual
yang komprehensif, ditujukan kepada
individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup
seluruh proses kehidupan manusia. Oleh karena
itu sifat pendidikan keperawatan juga menekankan pemahaman tentang keprofesian. Untuk menghasilkan seorang perawat
profesional, harus melewati dua tahap pendidikan yaitu tahap pendidikan akademik
yang lulusannya mendapat gelar S.Kep. dan tahap pendidikan profesi yang lulusannya mendapat gelar Ners (Ns).
Kedua tahap pendidikan keperawatan ini harus diikuti, karena keduanya merupakan
tahapan pendidikan yang terintegrasi
sehingga tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Pada tahap akademik
mahasiswa mendapatkan teori-teori dan konsep-konsep. Mata kuliah pada tahap ini
terbagi menjadi kelompok mata kuliah yang sifatnya umum, mata kuliah penunjang seperti mata kuliah medis yang
secara tidak langsung menunjang mata kuliah keperawatan dan mata kuliah
keahlian berupa mata kuliah keperawatan. Sedangkan pada tahap profesi mahasiswa
mengaplikasikan teoriteori dan konsep-konsep yang telah didapat selama tahap
akademik.
B. Tahap Pendidikan Profesi
Seperti sudah
dipaparkan di atas bahwa pendidikan perawat terbagi menjadi dua tahap yaitu
tahap pendidikan akademik dan tahap pendidikan profesi. Kondisi ini sejalan
dengan pendapat Reilly (2002) yang membagi pendidikan keperawatan menjadi dua
disiplin yaitu disiplin akademik dan disiplin profesional. Program pendidikan
profesi adakalanya disebut juga sebagai proses pembelajaran klinik.
Istilah ini muncul terkait dengan
pelaksanaan pendidikan profesi yang sepenuhnya dilaksanakan di lahan praktik
seperti rumah sakit, puskesmas, klinik bersalin, panti wherda, dan keluarga
serta masyarakat atau komunitas. Masih menurut Reilly, disiplin akademik lebih
menekankan pada pengetahuan dan pada teori yang bersifat deskriptif, sedangkan
disiplin profesional diarahkan pada tujuan praktis, sehingga menghasilkan teori
preskriptif dan deskriptif. Disiplin profesi hanya akan didapat di lingkungan klinis atau lahan
praktik karena lingkungan klinis merupakan lingkungan multiguna yang dinamik
sebagai tempat pencapaian berbagai kompetensi praktik klinis di dalam kurikulum
profesional. Lingkungan
klinis memfasilitasi peserta didik untuk belajar menerapkan teori tindakan ke
dalam masalah klinis yang nyata. Tujuan dari praktik klinis dapat dicapai di
lingkungan manapun yang melibatkan peserta didik di dalam praktik keperawatan.
Sebagai contoh untuk mahasiswa keperawatan biasanya memakai lahan praktik di
rumah sakit tipe A, tipe B maupun tipe C untuk pembelajaran kasus-kasus yang
terkait dengan medikal bedah atau perawatan pada orang dewasa, keperawatan
gawat darurat dan keperawatan anak. Untuk kasus-kasus maternitas seperti
pertolongan persalinan biasanya bekerjasama dengan klinik bersalin atau rumah
sakit khusus ibu dan anak, karena selain memiliki pasien dalam jumlah banyak,
kasusnya pun lebih spesifik. Sehingga lebih mudah untuk pencapaian kompetensi
mahasiswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Tetapi untuk
kasus-kasus yang biasa terjadi di keluarga dan masyarakat atau komunitas yang
terkait dengan pelayanan primer biasanya menggunakan puskesmas sebagai lahan
praktik.
Praktik klinik
diharapkan bukan hanya sekedar kesempatan untuk menerapkan teori yang
dipelajari di kelas ke dalam praktik profesional. Melalui praktik klinik
mahasiswa diharapkan lebih aktif dalam setiap tindakan sehingga akan menjadi
orang yang cekatan dalam menggunakan teori tindakan. Lebih jauh lagi, praktik
keperawatan profesional di bidang pelayanan keperawatan mencakup banyak hal
termasuk diantaranya pengambilan keputusan klinis yang mengintegrasikan teori,
hukum, pengetahuan, prinsip dan pemakaian keterampilan khusus. Tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana perawat 11menerima klien sebagai makhluk hidup yang
utuh, unik dan mandiri dengan hak-haknya yang tidak dapat dipisahkan. Selama praktik klinis, mahasiswa dapat
bereksperimen dengan menggunakan konsep dan teori untuk praktik, menyelesaikan
masalah, dan mengembangkan bentuk perawatan baru (Reilly, 2002). Adanya rasa
takut berbuat salah hanya akan membatasi perkembangan dan keinginan mahasiswa
untuk bereksperimen dengan perawatan. Kondisi ini akhirnya jelas berdampak pada
minimnya pengalaman klinik mahasiswa selama di lahan praktik. Pengajar atau
pembimbing klinik adakalanya merasa takut seandainya mahasiswa berbuat
kesalahan, sehingga sering menuntut hal
yang tidak realistik pada mahasiswa. Hal ini berdampak kepada
kompetensi-kompetensi tertentu yang mungkin tidak tercapai selama proses
pembelajaran.
C. Perencanaan Pembelajaran
Klinik
Menurut William H
Newman dalam bukunya Administrative Action Techniques of Organization and
Management dalam Majid (2005) menyatakan
bahwa perencanaan adalah menentukan apa yang akan dilakukan. Sedangkan menurut
Nana Sujana dalam sumber yang sama menyatakan bahwa perencanaan adalah proses
yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan
dilakukan pada waktu yang akan datang. Dalam konteks pembelajaran, perencanaan
juga dapat dikatakan sebagai proses
penyusunan materi, penggunaan media, penggunaan pendekatan dan metode
pengajaran. Sebelum membuat rancangan, sebaiknya dilakukan pengkajian terlebih
dahulu. Melalui pengkajian akan didapatkan status kemampuan awal peserta didik
sehingga akan membantu menetapkan tujuan pembelajaran. Tidak semua mahasiswa
harus mendapatkan proses pembelajaran yang sama walaupun tujuan akhir dari
pembelajarannya sama. Sedangkan untuk makna pembelajaran, banyak ahli
pendidikan yang menyatakan bahwa pengajaran merupakan terjemahan dari instruction atau teaching. Sedikit berbeda
dengan Correy dalam bukunya Association
for Education Communication and Technology
dalam Rohani (1995) mengatakan bahwa
instruction merupakan bagian dari pendidikan yang merupakan suatu proses
dimana lingkungan seseorang dengan sengaja dikelola agar memungkinkan orang
tersebut dapat belajar melakukan hal tertentu atau memberikan respon terhadap
situasi tertentu pula. Berasumsi pada pendapat Correy, maka untuk dapat
melaksanakan pembelajaran, seorang dosen atau pengajar di lahan praktik yang
sering disebut instruktur klinik berperan
sebagai perancang dan pengembang
model 12pembelajaran sekaligus sebagai pengelola atau pelaksana. Oleh karena
itu untuk melaksanakan tugas ini, instruktur klinik perlu memiliki pengetahuan,
sikap, keterampilan khusus dan hal-hal atau materi yang akan disampaikan.
Selain itu instruktur klinik pun
sebaiknya memahami tentang konsep perencanaan pembelajaran. Menurut Hunt
dalam Majid (2005) ada beberapa model
persiapan mengajar diantaranya model ROPES dan satuan pelajaran. Model ROPES merupakan sebuah
urutan tahap dari Review, Overview,
Presentation, Exercise dan Sumarry. Model ini cocok diadopsi untuk pembelajaran
klinik karena dimulai dari review atau
pengulangan tentang kegiatan yang akan dilakukan. Tahap kedua overview yaitu menjelaskan tindakan yang akan
dilakukan. Kemudian tahap presentation
dengan kegiatan mendemontrasikan tindakan yang akan dilakukan. Keempat
adalah exercise atau latihan, pada tahap ini mahasiswa
melakukan tindakan keperawatan di bawah supervisi instruktur klinik. Dan
terakhir summary atau membuat rangkuman
dari pembelajaran yang telah berlangsung. Kekurangan dari model ini adalah
tidak mencantumkan aspek evaluasi. Padahal melalui evaluasi instruktur klinik dapat mengetahui kemampuan
mahasiswanya. Akan tetapi tahap summary
bisa dimodifikasi menjadi tahap evaluasi. Model satuan pelajaran (satpel)
adalah model yang sering dipilih oleh kebanyakan pendidik karena polanya yang
baku. Tahapannya tiga bagian yaitu kegiatan awal berupa pendahuluan dan apersepsi yang bertujuan untukmengetahui
kemampuan awal mahasiswa. Tahap kedua merupakan kegiatan inti yaitu penyampaian
materi dan pemberian bimbingan terhadap mahasiswa. Dan tahap terakhir merupakan
kegiatan penutup yang biasanya ditandai dengan cara membuat rangkuman atau
melaksanakan evaluasi untuk materi yang telah dipelajari.
D. Pelaksanaan Pembelajaran
Klinik
Kegiatan di lahan praktik memberi
kesempatan kepada mahasiswa untuk terampil dalam menerapkan teori pada praktek
klinik dengan sikap dan keterampilan profesional yang ditumbuhkan dan dibina
melalui pengalaman dalam pengambilan keputusan klinik, yang merupakan penerapan
secara terintegrasi kemampuan penalaran saintifik dan penalaran etik (Husin,
1992).Menurut Schweek and Gebbie (1996) praktek klinik merupakan “the heart of
the total curriculum plan”. Hal ini berarti unsur yang paling utama dalam
pendidikan keperawatan adalah bagaimana proses pembelajaran dikelola di lahan
praktek. Untuk itu perlu disiapkan panduan pembelajaran klinik bagi mahasiswa
dan juga bagi pembimbing atau instruktur klinik agar dapat melakukan asuhan
keperawatan yang menitikberatkan pada kualitas melalui 13terciptanya suatu
lingkungan belajar yang sarat dengan
model peran (role model).
Melalui tahap pendidikan profesi diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang
memiliki sikap, pengetahuan dan keterampilan profesional.
Oleh karena itu pada
tahap profesi, pendidikan disusun berdasarkan pada:
(1) Penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi keperawatan. Pada tahap ini peserta didik dan
perseptor harus memahami dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
keperawatan yang diperlukan dalam melaksanakan asuhan keperawatan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan,
(2) Menyelesaikan
masalah secara ilmiah, maksudnya peserta didik dituntut untuk mampu memecahkan
masalah secara langsung saat berhubungan
dengan pasien/klien dalam membantu memenuhi kebutuhannya melalui tahapan proses
keperawatan,
(3) Sikap dan tingkah
laku profesional yang dituntut dari seorang perawat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan dan kehidupan profesi meliputi penumbuhan dan pembinaan kemampuan
berfikir, bersikap dan bertindak profesional melalui suatu lingkungan yang
sarat dengan model peran (role model),
(4) Belajar aktif dan
mandiri yang dapat dicapai selama pembelajaran klinik antara lain dengan membuat
laporan pendahuluan, presentasi kasus dan seminar hasil dan kegiatan lainnya yang menuntut mahasiswa
untuk lebih mandiri,
(5) Pendidikan berada
di masyarakat atau pengalaman belajar yang dikembangkan di masyarakat (community based learning) yang dapat menumbuhkan dan membina
sikap dan keterampilan para mahasiswa dimasyarakat. Untuk mencapai kompetensi
di atas, maka kurikulum tahap Program Profesi (Ners) disusun berdasarkan
Kurikulum Nasional dengan Surat Keputusan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Nomor: 129/U/1999 tanggal 11 Juni tahun 1999 tentang Kurikulum Inti Pendidikan
Ners di Indonesia (KIPNI). Besar beban studi kurikulum inti pada tahap program
profesi (Ners) adalah minimal 20 sks (80% dari kurikulum lengkap program
profesi Ners). Dengan komposisi 5 sks (25%) kelompok Keperawatan Medikal Bedah (KMB), 2 sks (10%) Keperawatan
Maternitas, 2 sks (10%) Keperawatan
Anak, dan 2 sks (10%) Keperawatan Jiwa yang ditempatkan di semester pertama.
Sedangkan pada semester kedua meliputi 2 sks (10%) Manajemen Keperawatan, 2 sks (10%)
Keperawatan Gerontik, 2 sks (10%) Keperawatan Gawat Darurat, 2 sks (10%)
Keperawatan Keluarga dan 3 sks (15%) Keperawatan Komunitas. Setiap institusi
pendidikan tinggi keperawatan hampir memiliki kurikulum yang berbeda. Kurikulum
dikembangkan sejalan dengan misi dan visi institusi. Di dalamnya tergambar
kompetensi-kompetensi yang harus dicapai peserta didik. Melalui pendidikan
profesi, diharapkan dapat mengembangkan keterampilan tehnik, pemecahan masalah
serta meningkatkan kemampuan intelektual dan hubungan interpersonal untuk
menghasilkan perawat profesional yang mampu memberikan pelayanan
keperawatan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi keperawatan. Lulusannya juga diharapkan mampu menggunakan
metodologi keperawatan berlandaskan pada etika keperawatan. Agar kompetensi ini
dapat dicapai, mahasiswa wajib mendapatkan proses pembelajaran secara
berkelanjutan antara teori dan pengalaman belajar di lahan praktek dalam suatu
lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan pembinaan kemampuan profesional. Pembelajaran
yang berkelanjutan dimulai dari tahap akademik yang berfokus kepada penguasaan
konsep-konsep dan teori-teori, dilanjutkan pada tahap profesi untuk untuk
menerapkan konsep-konsep dan teori-teori yang telah di dapat dalam bentuk pelayanan langsung kepada pasien atau klien.
Sehingga lulusannya diharapkan dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai
perawat profesional, baik sebagai pemberi asuhan (caregiver), pembela klien (client
advocator), penilai kualitas asuhan (quality
of evaluator), manajer (manager), peneliti
(researcher), pendidik (educator)
maupun konsultan (consultant) serta
community leader. Untuk dapat menghasilkan lulusan dengan kemampuan tersebut
diperlukan proses pembelajaran di lahan praktek. Pembelajaran di lahan praktik
atau praktik klinik diharapkan tidak hanya menjadi kesempatan untuk menerapkan
teori yang dipelajari di kelas ke dalam praktik profesional. Akan tetapi
melalui praktik klinik mahasiswa diharapkan lebih aktif dalam setiap tindakan sehingga
akan menjadi orang yang cekatan dalam menggunakan teori tindakan. Lebih jauh lagi, praktik profesional di bidang
pelayanan keperawatan mencakup banyak hal diantaranya keputusan klinis yang
berasal dari teori, hukum, pengetahuan, prinsip dan pemakaian keterampilan
khusus. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana perawat menerima klien sebagai
makhluk hidup yang unik dan mandiri dengan hak-hak yang tidak dapat
dipisahkan. Pelaksanaan pembelajaran
klinik terkait erat dengan peran pengajar pada lingkungan klinis yang bertujuan
untuk mendorong kemandirian dan kepercayaan diri mahasiswa. Bukan mendukung
berkembangnya ketergantungan dan kepercayaan terhadap pengajar. Setelah melalui
proses pembelajaran diharapkan mahasiswa benar-benar mandiri sebab mereka akan kembali ke masyarakat
sebagai pengguna (user) jasa. Oleh karena itu kemampuan mahasiswa selama
pembelajaran di klinik sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan pengalaman
instruktur klinik. Di beberapa negara bagian di Australia dan di Amerika
instruktur klinik dikenal dengan istilah perseptor. Sehingga metode pembelajaran klinik yang
dikembangkan dikenal dengan istilah metode perseptorship. Beberapa metode yang disarankan untuk perseptorship atau pembelajaran klinik adalah
tanya jawab, diskusi, demontrasi untuk tindakan atau prosedur yang baru dan
feed back atau balikan untuk tindakan yang telah dilakukan. Hal ini penting
sebagai evaluasi untuk mengoreksi setiap tindakan yang telah dilakukan
mahasiswa.
Ada
banyak metode pengajaran klinis, Reilly (2002) membaginya menjadi tujuh, yaitu:
(1) experiential: meliputi penugasan klinis,
tugas tertulis, simulasi dan permainan,
(2) pemecahan masalah: meliputi situasi
pemecahan masalah, dan situasi pembuatan keputusan,
(3) konferensi: biasanya terdiri dari
konferensi prapertemuan, pascapertemuan, dan jenis pertemuan klinis lainnya
serta pertemuan keperawatan multi disiplin,
(4) observasi: meliputi observasi di
lingkungan klinis, kunjungan lapangan atau
home visit, ronde keperawatan, dan peragaan,
(5)
multimedia: biasanya terkait dengan keragaman media yang digunakan dalam
penyampaian materi misalnya bentuk visual seperti slide dan film strip, bentuk
auditori seperti videotip dan dengan menggunakan model atau objek lain untuk
dimanipulasi, model cetakan seperti: hand out, pamplet, buku ajar, buku
kerja/buku panduan serta instruksi terprogram, jenis media bukan cetakan
seperti kaset/audiotif, komputer, film, film loop, film streep, model, overhead
trasparansi, fotografi, objek nyata, slide, televisi, videotip,
(6) self directed yaitu: seperti kontrak
pembelajaran, pembelajaran sendiri, dan
(7) preceptorship dan model lain dari
praktek klinik terkonsentrasi. Preceptorship didasarkan pada konsep modeling
peserta didik dengan cara memodifikasi prilaku dan mengobservasi sendiri prilaku yang
dibutuhkan.
E. Karakteristik Pengajar
Klinik
Menurut Watt (1990)
pengajar klinik yang lebih dikenal sebagai instruktur klinik atau clinical instructur (CI) atau digunakan juga
istilah perseptor biasanya berasal dari lahan praktik, tetapi bisa juga berasal
dari institusi apabila pembimbing dari lahan praktik tidak dapat memenuhi
kriteria yang disyaratkan. Sebagai perseptor, perawat bertanggung jawab
terhadap semua tindakan mahasiswa selama pembelajaran di lahan praktik. Perawat
juga harus membuat pembatasan kewenangan yang
jelas dan spesifik tentang asuhan keperawatan yang menjadi tanggung
jawab mahasiswa dan tanggung jawabnya. Kekaburan tugas ini bisa berdampak besar
pada kondisi-kondisi tertentu yang tidak diharapkan. Misalnya terjadi kesalahan
dalam pemberian atau pelaksanaan suatu tindakan yang dapat berakibat fatal bagi
pasien dan dapat menyebabkan kematian.
Agar pengajaran di klinik tetap efektif, seorang pengajar klinis
sebaiknya memiliki karakteristik di bawah ini.
Pertama, pengajar
klinik harus tetap mengikuti perkembangan pengetahuan dan keterampilan klinis
terbaru. 16Menganalisa teori-teori, mengumpulkan dari berbagai sumber, dan
menekankan pemahaman konseptual diantara peserta didik. Membantu peserta didik
dalam menghubungkan teori yang melandasi praktik keperawatan. Mampu
menyampaikan atau mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Memperlihatkan
kompetensi klinis, keahlian, dalam keterampilan dan pertimbangan klinis, dan
sikap serta nilai-nilai yang dikembangkan oleh peserta didik.
Kedua, pengajar
klinik sebaiknya menguasai keterampilan
dasar mengajar sebagaimana layaknya seorang pengajar atau dosen. Katerampilan
ini terkait dengan kemampuan pengajar untuk bertanya, menjelaskan, memberi
penguatan, mengadakan variasi, mengelola kelas dan membimbing diskusi. Semua
keterampilan di atas akan tercermin dalam sikap pengajar saat mendiagnosis
kebutuhan pembelajaran, merencanakan instruksi, melakukan supervisi pada
peserta didik di dalam lingkungan klinis, dan melaksanakan evaluasi
pembelajaran. Kondisi lainnya tergambar dalam cara pengajar menyampaikan
informasi dalam susunan yang teratur, memberi penekanan pada hal-hal yang
penting, memberikan penjelasan dan pengarahan dengan jelas dan singkat sehingga
mudah dipahami, mengajukan pertanyaan
yang dapat memfasilitasi pembelajaran dan dapat meningkatkan kemadirian peserta
didik serta memberikan umpan balik langsung yang positif terhadap kemajuan
peserta didik.
Ketiga, pengajar
klinik sebaiknya mempertahankan hubungan harmonis dengan cara membentuk
hubungan interpersonal dengan peserta didik, yang ditandai dengan adanya
kehangatan, rasa saling menghormati, prilaku penuh perhatian, memberi
perhatian, dan bersikap lebih terbuka.
Hubungan yang kurang harmonis antara keduanya dapat menyebabkan situasi dan
kondisi pengajaran yang tidak kondusif. Akhirnya tentu berdampak pada transfer
ilmu yang tidak optimal sehingga pencapaian kompetensi pun dapat terhambat.
Hubungan ini juga dapat dijalin dengan cara memberikan dukungan, dorongan, dan
mendengarkan dengan seksama serta
menghargai hak peserta didik untuk menolak, bertanya, dan
mengekspresikan pendapat sendiri dan dapat menerima perbedaan diantara peserta
didik.Terakhir, terkait dengan karakteristik
personal yang harus dimiliki pengajar klinis yaitu dinamis dan antusias,
memiliki rasa humor, ramah, kooperatif, sabar dan mau serta mampu mengakui kesalahan dan keterbatasan yang dimilikinya.
Pengajar klinik adalah seseorang yang menyukai praktek keperawatan klinis dan
mengajar di dalam lingkungan klinis
sesuai dengan keahliannya. Kemampuan pengajar klinik dalam melaksanakan
pengajaran sesuai dengan keahliannya, akan melahirkan rasa percaya diri pada
saat mengajar dan melaksanakan evaluasi pengajaran. Seorang pengajar klinik
juga17perlu memperhatikan fleksibilitas, bertangung jawab terhadap keperawatan
dan pengajaran di lingkungan klinis. Pembelajaran klinik bagi mahasiswa
keperawatan di rumah sakit dilakukan secara kolaborasi antara perseptor
atau instruktur klinik yang berasal dari
institusi pendidikan dan perseptor yang berasal dari lahan praktik yang
diperbantukan untuk mengajar mahasiswa selama pembelajaran klinik.
Beberapa tanggung jawab
perseptor klinis antara lain sebagai berikut:
(1) mengorientasikan mahasiswa yang
praktik terkait dengan prosedur-prosedur dan kebijakan di lahan praktik.
(2) berperan menjadi seorang praktisi
klinis, guru sekaligus pementor.
(3) melaksanakan supervisi terhadap
mahasiswa selama berada di lahan
praktik.
(4) memperbaiki kemampuan mahasiswa
untuk mendukung perencanaan dan tindakan keperawatan.
(5) memberi masukan dan membantu serta
mendorong kemampuan mahasiswa untuk
tujuan klinis.
(6) berkordinasi dengan institusi
pendidikan untuk membahas masalah-masalah yang
muncul selama pengajaran klinik.
(7) memberikan pendelegasian untuk menjaga hal-hal tidak diharapkan saat
perseptor tidak dapat mendampingi mahasiswa selama pengajaran klinik.
(8) mendokumentasikan perkembangan
mahasiswa selama pengajaran sebagai bahan untuk evaluasi.
(9) memberikan laporan tertulis pada
institusi sebagai bahan evaluasi pada akhir pembelajaran
klinis.
Tugas perseptor atau
instruktur klinik di setiap institusi
pelayanan kesehatan baik itu rumah sakit, klinik, maupun puskesmas jelas
berbeda. Hal ini disesuaikan dengan kompetensi yang harus dicapai mahasiswa
pada setiap bagian. Kondisi lain yang berkontribusi terhadap peran instruktur
klinik ini adalah kebijakan dari rumah sakit atau pelayanan kesehatan yang
bersangkutan dan perbandingan atau rasio antara
instruktur klinik dengan jumlah mahasiswa/peserta didik yang harus
mendapat bimbingan turut mempengaruhi kualitas bimbingan yang diberikan.
F. Evaluasi Pembelajaran
Klinik
Evaluasi adalah suatu
proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai
keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang suatu sistem pembelajaran
(Hamalik, 2003). Masih menurut Hamalik evaluasi belajar mengajar merupakan
bagian integral dalam proses pendidikan. Karena itu harus dilakukan oleh setiap
pendidik sebagai bagian dari tugasnya dalam merancang sistem pembelajaran.
Setiap merancang sistem pembelajaran, sebaiknya telah ditetapkan terlebih
dahulu tujuan-tujuan yang ingin dicapai yang akan dituangkan dalam rumusan
rencana evaluasi. Evaluasi 18atau penilaian tidak hanya dilakukan terhadap
hasil belajar tetapi juga dilakukan terhadap proses pengajaran itu sendiri.
Banyak keuntungan yang didapat apabila evaluasi telah direncanakan sebelumnya
dan dikelola dengan baik. Keuntungan-keuntungan itu antara lain: memberikan
kemudahan dalam mengkaji ulang model atau rancangan pembelajaran yang telah
disusun. Membantu dalam mengumpulkan informasi tentang pemahaman peserta didik
terhadap suatu materi dan memberikan waktu yang cukup untuk merancang tes
sehingga tes yang dilakukan tidak terkesan asal-asalan. Pengelolaan evaluasi pembelajaran klinik
adalah pelaksanaan evaluasi terhadap pembelajaran di klinik. Pembelajaran di
klinik tidak sama dengan pembelajaran di kelas atau pun di laboratorium.
Mahasiswa yang melaksanakan praktik biasanya terbagi menjadi kelompok-kelompok
kecil dengan jumlah 8-12 mahasiswa untuk setiap bagian. Masing-masing bagian
melaksanakan praktik klinik selama tiga sampai dengan empat minggu, tergantung
kompetensi yang harus dicapai mahasiswa dan bobot SKS yang harus ditempuh pada setiap
bagian. Pelaksanaan evaluasi pembelajaran klinik ada kecenderungan dilaksanakan
pada minggu terakhir di setiap siklusnya. Pengelolaan evaluasi pada setiap
bagian bisa saja berbeda, akan tetapi prinsip, syarat, alat dan model evaluasi
sebaiknya dipahami instruktur klinik. Sehingga evaluasi yang dilaksanakan
benar-benar mampu menilai pembelajaran yang telah dilaksanakan. Hasil evaluasi
bukan merupakan suatu hal yang bersifat subjektif atau keberuntungan. Baik
buruknya hasil evaluasi akan menjadi indikator suatu institusi, bahkan turut
menentukan apakah suatu program masih layak dipertahankan seandainya
berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan adalah kurang memuaskan. Oleh
karena itu baik tidaknya pengeloaan evaluasi ikut menentukan penguasaan mahasiswa
terhadap kompetensi yang harus dicapainya dan berdampak pada mutu suatu
institusi.
Ringkasan
1. Pendidikan keperawatan terbagi
menjadi dua tahap yaitu tahap pendidikan akademik dan pendidikan profesi.
2. Tahap akademik menekankan pada pengetahuan dan teori yang bersifat
deskriptif, sedangkan tahap profesional diarahkan pada tujuan praktis, sehingga
menghasilkan teori preskriptif dan deskriptif.
3. Tahap profesi hanya akan di dapat
dilingkungan klinis karena lingkungan
klinis merupakan lingkungan multiguna yang dinamik sebagai tempat pencapaian
berbagai kompetensi praktik klinis seperti tercantum dalam kurikulum
profesional. 19
4. Praktek klinik merupakan “the heart
of the total curriculum plan” artinya pembelajaran klinik merupakan unsur yang
paling utama dalam pendidikan keperawatan.
5. Agar pembelajaran di klinik tetap
efektif, seorang pengajar klinis sebaiknya memiliki karakteristik tertentu dan
harus adanya pembatasan kewenangan yang jelas dan spesifik tentang asuhan
keperawatan yang menjadi tanggung jawab mahasiswa dan tanggung jawabnya.
6. Sebelum melaksanakan pembelajaran
klinik sebaiknya dibuat perencanaan terlebih
dahulu, kemudian dilaksanakan juga evaluasi terhadap proses yang sudah
dijalankan.
DAFTAR
PUSTAKA
·
http//www/wikipedia/profesikeperawatan/com
·
http//www/google/tujuankeperawatan/com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar